BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Syariat dan Fiqh
Syariah/syariat
dalam bahasa Arab
berasal dari kata syari’, secara
harfiah berarti jalan yang harus dilalui oleh setiap muslim. Syariat ditetapkan Allah menjadi patokan
hidup setiap muslim. Mahmud Syaltout dalam
bukunya Al-Islam Aqidah wa Syariah
memberikan definisi syariah sebagai
peraturan yang diturunkan oleh Allah kepada manusia agar dipedomani dalam
berhubungan dengan Tuhannya, dengan sesamanya, dengan lingkungannya, dan dalam
kehidupannya. Sedangkan menurut Muhammad Idris as Syafi’i (Iman Syafi’i) dalam kitab ar Risallah, syariat adalah peraturan-peraturan yang lahir yang bersumber dari
wahyu dan kesimpulan-kesimpulan yang berasal dari wahyu itu mengenai tingkah
laku manusia. Dalam rumusan Imam Syafi’i ini ada dua yaitu:
1. Peraturan
yang bersumber pada wahyu (syariah)
2.
Kesimpulan yang bersumber dari wahyu itu (fiqh)
Meskipun
tafsir kata syariat di atas berbeda-beda, namun mempunyai persamaan dari
segi maksudnya. Ibnu Abbas r.a. menafsirkannya dengan petunjuk yang jelas.
Qatadah menafsirkannya dengan ketentuan-ketentuan, batasan-batasan, perintah
dan larangan. Ibnu Zaid menafsirkannya dengan din (agama). (Ath Thabari, Jami’ Al Bayan, (Kairo : Dar Al
Ma’arif, 1954), cet. ke II, XXII hal. 146-147). Fakhrurrazi menafsirkannya
dalam bentuk definisi yaitu :“Apa-apa yang ditetapkan Allah SWT atas para
mukallaf (orang yang wajib melaksanakan hukum Allah Ta’ala) supaya mereka
ikuti.”(
Fakhrurrazi, At Tafsir Al Kabir, (Teheran : Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah),
cet. ke II, hal. 12). Keterangan-keterangan tersebut di atas tidak
bertentangan, tetapi pengertian syariat
yang dikemukakan Fakhrurrazi lebih jelas dan telah dirumuskan dalam bentuk
definisi. At -Thahanawi juga mengemukakan definisi yang sama, yaitu : “Syari’at
ialah hukum-hukum yang disyari’atkan Allah Ta’ala untuk hamba-hamba-Nya yang
disampaikan oleh salah seorang nabi dari nabi-nabi (sallallahu ‘alaihim dan
sallallahu ‘ala nabiyyina wa sallam), baik hukum-hukum tersebut mengenai amal
perbuatan ………… maupun mengenai akidah.”. (Dr. Muh.
Yusuf Musa, Al Fiqh Al Islami, (Kairo : Dar Al Kutub Al Haditsah, 1954),
hal 8)
Pengertian atau definisi syariat di atas adalah umum. Ia bukan
saja pengertian syariat yang
diberikan Allah Ta’ala kepada Rasul-Nya Muhammad saw., tetapi bahkan pengertian
semua syariat yang diberikan Allah Ta’ala kepada para rasul sebelum Muhammad
saw. Dalam
prakteknya makna syariat selalu
disamakan dengan fiqh, yaitu sebagai
ketetapan Allah baik berupa larangan maupun perintah, syariat mengatur jalan
hidup dan kehidupan manusia. Dari segi hukum, syariat adalah norma hukum dasar yang diwahyukan Allah, yang wajib
diikuti oleh orang Islam, baik dalam berhubungan dengan Allah maupun dalam berhubungan
dengan sesama manusia dan masyarakat. Karena itu, syariat terdapat di dalam
Al-Qur’an dan Al-Hadist sehingga umat Islam tidak pernah akan keliru atau sesat
dalam perjalanan hidupnya selama mereka berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sedangkan
kata fiqh (fikih dalam bahasa
Indonesia) secara etimologi artinya paham, pegertian, dan pengetahuan. Fiqh
secara tertimologi adalah hukum syara’ yang bersifat praktis (amaliah) yang
diperoleh dari dalil-dalil terperinci. Kalau fiqh dihubungkan dengan perkataan
ilmu sehingga menjadi ilmu fiqh. Ilmu
fiqh adalah ilmu yang bertugas menentukan dan menguraikan norma dasar dan
ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad saw. Yang
direkam di dalam kitab-kitab hadis. Dengan kata lain, ilmu fiqh adalah ilmu yang berusaha memahami hukum-hukum dasar yang
terdapat dalam Al-Quran dan kitab-kitab Hadist. Pemahaman itu dituangkan ke
dalam kitab-kitab fiqh dan disebut hukum
fiqh. Contoh kitab hukum fiqh dalam bahasa Indonesia adalah Fiqh Islam karya H. Sulaiman Rasjid yang
sejak diterbitkan pertama kali (1954) sampai kini (1997) telah dicetak ulang
puluhan kali. Beberapa kitab hukum mahzab Syafi’i juga telah diterjemahkan ke
dalam bahsa Indonesia, di antaraya adalah karya Mohammad Idris as-Syafi’i
sendiri bernama: al-Umm artinya
(kitab) induk.
Dari
pengertian di atas menunjukkan bahwa antara syariah dengan fiqh mempunyai
hubungan yang sangat erat, yaitu dapat dibedakan tetapi tidak dapat di ceraipisahkan.
Kedua istilah dimaksud, yaitu (1) syariat
Islam dan (2) fiqh Islam. Di dalam
kepustakaan Islam berbahasa Inggris, syariat Islam diterjemahkan dengan istilah
Islamic Law, sedangkan fiqh islam
diterjemahkan dengan Islamic
Jurisprudence. Jadi, syariat adalah landasan fiqh, fiqh adalah pemahaman
tentang syariat. Kedua istilah itu terdapat di dalam Al-Quran; syariat,
misalnya, dalam surat Al-Jatsiyah (45): 18
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الأمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلا تَتَّبِعْ
أَهْوَاءَ الَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ
yang artinya: “Kemudian yang Kami jadikan kamu
berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah
syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui”,
Dan fiqh dalam surat At-Taubah (9): 122
وَلا يُنْفِقُونَ نَفَقَةً صَغِيرَةً وَلا كَبِيرَةً وَلا يَقْطَعُونَ
وَادِيًا إِلا كُتِبَ لَهُمْ لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ
أَحْسَنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
yang
artinya: “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke
medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya. Supaya mereka
itu dapat menjaga dirinya”.
Namun demikian antara syariat dan fiqh,
terdapat perbedaan, yang apabila tidak dipahami dapat menimbulkan sikap salah
kaprah terhadap fiqh. Fiqh diidentikkan dengan syariat. Untuk lebih jelasnya
akan dikemukakan perbedaannya berikut ini.
·
Syariah diturunkan oleh Allah yang
terdapat dalam Al-Quran dan Al-Hadits, kebenarannya bersifat mutlak, sementara
fiqh adalah hasil fikiran fuqaha yang memenuhi syarat tentang syariat dan
kebenarannya bersifat relatif.
·
Syariah adalah satu dan fiqh beragam,
seperti adanya aliran-aliran hukum yang di sebut dengan istilah mahzab-mahzab.
·
Syariah adalah ketetapan Allah dan
ketentuan Rasul-Nya, karena itu berlaku abadi, bersifat tetap atau tidak
berubah, sedangkan fiqh adalah karya manusia yang dapat mengalami perubahan
seiring dengan tuntutan ruang dan waktu,dari masa ke masa.
·
Syariah bersifat fundamental, memiliki
ruang lingkupnya yang lebih luas, oleh banyak ahli dimasukkan juga akidah dan
akhlak, sedangkan fiqh bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada
hukum yang mengatur perbuatan manusia yang biasanya disebut perbuatan hukum.
Seperti yang dikemukakan diatas, bahwa hukum Islam adalah terjemahan dari Al-Fiqh Al-Islamy atau As-Syariah Islamy.
·
Syariah menunjukkan kesatuan dalam
Islam, sedangkan fiqh menunjukkan keragamannya (Asaf A.A. Fyzee, 1955: 17, H.M
Rasjidi, 1958: 403, Ahmad Ibrahim, 1965: 2, M. Khalid Masud, 1971: 22, S.H.
Nasr, 1981: 60)
Untuk lebih
menjelaskan perbedaan syariat dengan fiqh sekaligus pula menunjukkan keeratan
hubungannya, berikut ini dikemukakan beberapa contoh.
Misalnya,
Rahman meminjam barang kepada Budi. Sewaktu barang ditangan Rahman, barang
pinjaman tersebut hilang. Mengenai hal ini di dalam Al-Quran surat Al-Baqoroh
(2); 283
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ
وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا
فَإِنَّهُ
آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
ada
ketentuan hukum atau kaidah yang intinya berbunyi sebagai berikut “... jika
seseorang dipercayai oleh orang lain, hendaklah ia menunaikan amanat yang
diberikan kepadanya itu .....”
Di dalam
ayat ini disebutkan bahwa orang yang diberi amanat harus menunaikan amanat itu
sebaik-baiknya. Artinya, kalau ia diberi titipan ia harus mengembalikan titipan
itu dan kalau ia memperoleh pinjaman (karena orang lain percaya kepadanya) haruslah
ia mengembalikan pinjaman itu. Akan tetapi kalau barang itu hilang, atau Rahman
tidak mengembalikan pinjaman itu, ketentuannya tidak disebutkan dalam ayat
tersebut. Karena itu timbullah masalah fiqh yaitu masalah pemahaman ketentuan
syariat. Orang yang memenuhi syarat lalu berijtihad mengenai ganti-rugi barang
dimaksud. Timbullah berbagai pendapat. Menurut pendapat mahzab Hanafi, Rahman
harus mennganti kerugian yang diderita Budi sejumlah harga ketika barang itu dibeli
oleh Budi. Menurut mahzab Hambali, Rahman mengganti kerugian Budi sebesar
harga barang itu ketika hilang ditangannya.
Mahzab Syafi’i berpendapat lain, yakni Rahman harus membayar kerugian pada Budi
menurut harga tertinggi yang terjadi antara barang itu dibeli dan dihilangkan oleh Rahman.
(Hasbullah Bakry, 1982: 3).
Dari contoh
di atas jelas bahwa pendapat sebagai hasil pemahaman manusia, mungkin
berbeda-beda. Dan inilah yang disebut dengan fiqh. Ketentuan hukum yang
dirumuskan oleh para mujtahid (orang
yang berijtihad), seperti telah berulang disebutkan di atas, disebut hukum
fiqh. Dari kaidah ini dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum fiqh cebderung
relatif, tidak absolut seperti hukum syariat yang menjadi norma dasar hukum
fiqh. Sifatnya zanni yakni sementara belum dapat dibuktikan. Sifat
ini terdapat pada hasil karya manusia dalam bidang apapun. Sedangkan syariat
bersifat absolut atau disebut dengan istilah qath’i (pasti) tidak berubah-ubah.
Selain sifat
tersebut di atas, dikemukakan pula bahwa hukum fiqh tidak dapat menghapuskan
hukum syariat. Ambillah misal, soal perceraian. Hukum syariat memperbolehkan
perceraian. Para ahli hukum Islam tidak boleh membuat ketentuan hukum fiqh yang
melarang perceraian. Demikian juga halnya dengan ketentuan mengenai hak yang
sama antara pria dan wanita untuk menjadi ahli waris. Hukum syariat menentuakan
bahwa pria dan wanita sama-sama menjadi ahli waris. Hukum fiqh tidak boleh
merumuskan ketentuan yang menyatakan, misalnya, wanita tidak berhak menjadi
ahli waris seperti keadaan dalam masyarakat Arab sebelum Islam (Ahmad A.
Basyir, 1982: 1).
B. SYARIAH DAN FIQH SERTA KEABADIAN SYARIAH ISLAM
Hukum Islam, baik dalam pengertian
syariat maupun dalam pengertian fiqh di bagi dalam dua bidang.
a. Ibadah, menurut bahasa, artinya taat,
tunduk, turut, ikut, dan doa. Ibadah dalam makna taat atau mentaati (perintah)
diungkapkan Allah dalam Al-Quran surat Yaasiin (36): 60
أَلَمْ أَعْهَدْ
إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ
عَدُوٌّ مُبِينٌ
yang
terjemahan artinya sebagai berikut, “Bukankah Aku telah memerintahkan kepada kamu hai bani Adam supaya kamu tidak menyembah
setan, (karena) sesungguhnya setan itu adalah musuhmu yang nyata”.
Ibadah itu
sendiri terbagi atas:
i.
Rukun Islam: mengucapkan syahadatain, mengerjakan
sholat, mengeluarkan zakat, melaksanakan puasa di bulan Ramadhan, dan
menunaikan haji bila mempunyai kemampuan (mampu fisik dan nonfisik).
ii.
Ibadah yang
berhubungan rukun Islam dan ibadah lainnya, yaitu bersifat Badani (bersifat fisik), yaitu bersuci: wudu, mandi, tayamum,
peraturan untuk menghilangkan najis, peraturan air, istinja, dan lain-lain,
azan, iqamat, i’tikaf, doa, dan lain-lain. Dan bersifat Mali (bersifat harta): zakat, infak, shadaqah, qurban, aqiqah,
fidyah,dan lain-lain.
Dalam hubungan ini perlu dipahami bahwa hakikat ibadah
adalah menumbuhkan kesadaran pada diri manusia bahwa ia sebagai insan
diciptakan Allah khusus untuk mengabdi kepada-Nya. Hal ini dijelaskan dalam
surat Adz-Zariyaat (51): 56
وَمَا خَلَقْتُ
الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُون
“Dan, Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untk beribadah
kepada-Ku”.
Ketentuan hukum ibadah ini, semula diatur secara
global (mujmal) dalam Al-Quran, kemudian dijelaskan oleh Sunnah Rasul—berupa
ucapan, perbuatan atau penetapannya—dan diformulasikan oleh para fuqaha (ahli
hukum) ke dalam kitab-kitab fiqh. Pada prinsipnya dalam masalah ibadah, kaum
muslimin menerimanya sebagai ta’abbudyy ,
artinya diterima dan dilaksankan dengan sepenuh hati, tanpa terlebih dahulu merasionalisasikannya.
Hal ini karena arti ibadah sendiri menghambakan diri kepada Allah, Zat yang
berhak disembah. Dan manusia tidak memiliki kemampuan untuk menangkap secara
pasti alasan (‘illat) dan hikmah apa
yang terdapat di dalam perintah ibadah tersebut. Dari uraian di atas, jelas
bahwa ibadah adalah sari ajaran Islam berupa pengabdian atau penyerahan diri
kepada Allah (Ensiklopedi Islam, 1993, jilid 2, halaman 143-144).
b. Muamalat, mengatur hubungan antara manusia
dengan sesamanya, seperti perikatan, sanksi hukum dan aturan lain, agar terwujud
ketertiban dan keadilan, baik secara perorangan maupun kemasyarakatan. Muamalat
ini dipilih sesuai dengan aspek dan tujuan masing-masing. Abdul Wahab Khalaf, op.cit., halaman 32-33 merinci sebagai
berikut
i.
hukum kekeluargaan (ahwal al-syakhsiah) yaitu hukum yang berkaitan dengan urusan
keluarga dan pembentukannya yang bertujuan mengatur hubungan suami isteri dan
keluarga satu dengan yang lainnya.
ii.
Hukum Sipil (civics/al-ahkam
al-madaniyah) yang mengatur hubungan individu-individu serta bentuk-bentuk
hubungannya seperti: jual beli, sewa-menyewa, utang piutang, dan lain-lain,
agar tercipta hubungan yang harmoni di dalam masyarakat.
iii.
Hukum Pidana (al-ahkam
al-jinaiyah) yaitu hukum yang mengatur tentang bentuk kejahatan atau
pelanggaran dan ketentuan sanksi hukumannya. Tujuannya untuk memelihara
kehidupan manusia, harta, kehormatan, hak serta membatasi hubungan pelaku
perbuatan pidana dan masyarakat.
iv.
Hukum Acara (al-ahkam
al-murafaat) yaitu hukum yang mengatur tata cara mempertahankan hak, dan
atau memutuskan siapa yang terbukti bersalah sesuai dengan ketentuan hukum.
Hukum ini mengatur cara beracara di lembaga peradilan, tujuannya untuk
mewujudkan keadilan dalam masyarakat.
v.
Hukum Ketatanegaraan (al-ahkam al-dusturiyah) berkenaan dengan sistem hukum yang
bertujuan mengatur hubungan antara penguasa (pemerintah) dengan yang dikuasai
atau rakyatnya, hak-hak dan kewajiban individu dan masyarakat.
vi.
Hukum Internasional
(al-ahkam al=duwaliyah)
mengatur hubungan antar negara Islam dengan negara lainnya dan hubungan warga
muslim dengan nonmuslim, baik dalam masa damai atau masa perang.
vii.
Hukum Ekonomi (al=ahkam
al-iqtisadiyah wa al-maliyah). Hukum ini mengatur hak-hak seorang pekerja
dan orang yang memperkerjakannya, dan mengatur sumber keuangan negara dan
pendistribusiannya bagi kepentingan kesejahteraan rakyatnya.
BAB III
KESIMPULAN
·
Syari’at ialah hukum-hukum
yang disyari’atkan Allah Ta’ala untuk hamba-hamba-Nya yang disampaikan oleh
salah seorang nabi dari nabi-nabi (sallallahu ‘alaihim dan sallallahu ‘ala
nabiyyina wa sallam), baik hukum-hukum tersebut mengenai amal perbuatan maupun
mengenai akidah.
·
Syari’at berbeda dengan
fikih. Syari’at
adalah norma hukum dasar yang diwahyukan Allah, yang wajib diikuti oleh orang
Islam, baik dalam berhubungan dengan Allah maupun dalam berhubungan dengan
sesama manusia dan masyarakat, sedangkan fikih artinya paham, pegertian, dan
pengetahuan.
·
Syari’at terbagi menjadi dua, yaitu : ibadah dan
muamalat
·
Ibadah artinya taat, tunduk, turut, ikut, dan doa. Terdiri
dari; rukun islam dan Ibadah yang berhubungan dengan rukun Islam dan ibadah
lainnya, yaitu bersifat Badani (bersifat
fisik), yaitu bersuci.Dan bersifat Mali
(bersifat harta).
·
Muamalat yaitu mengatur hubungan antara manusia dengan
sesamanya. Terdiri dari hukum kekeluargaan (ahwal
al-syakhsiah), Hukum Sipil (civics/al-ahkam
al-madaniyah), Hukum Pidana (al-ahkam
al-jinaiyah), Hukum Acara (al-ahkam
al-murafaat), Hukum Internasional (al-ahkam al=duwaliyah), Hukum
Ketatanegaraan (al-ahkam al-dusturiyah).
BAB IV
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, Mohammad Daud. 1988. Pendidikan Agama Islam. Cetakan Ketiga. Jakarta: Rajawali Press.
Ali, Zainuddin. 2006. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di
Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Rofiq, Ahmad. 1998. Hukum Islam di Indonesia. Cetakan
Ketiga. Jakarta: Rajawali Press
http://opi.110mb.com/ Hadits Web: Kumpulan & Referensi Belajar
Hadits/ Kamis, 01 Muharram 1434 H. Sa’ah ‘alaa 10.23 WIB
http://Pengertian Syariat dan Fiqh/ Jum’at, 09 November 2012: 08.46 WIB
http://Syariah-Islam/Sabtu, 10
November 2012, 09.14 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar